Sabtu, 01 September 2012

Pembunuh Sadis di Jakarta Timur Masih Berkeliaran!





JAKARTA - Sebanyak lima kasus pembunuhan sadis yang terjadi di wilayah Jakarta Timur, menemui jalan buntu. Minimnya saksi beserta alat bukti, menjadi alasan polisi sulit meringkus pelaku. Belum lagi amburadulnya data kependudukan masyarakat Ibu Kota yang semakin membuat kasus tersebut semakin sulit terungkap. Pemerintah lagi-lagi nihil menjawab kecemasan masyarakat.

Berikut ini lima kasus pembunuhan sadis di wilayah Jakarta Timur, yang didata Kompas.com berdasarkan pemberitaan dari Juli 2011 hingga Juni 2012 :

- Senin (11/7/2011) malam : Zainal Abidin (61), mantan office boy Pusat Pengembangan Agrobisnis di Tebet, Jakarta Selatan, ditemukan tewas bersimbah darah dengan luka di kepala. Ia ditemukan di kamar rumahnya di Jalan Raya Centex, Gang Asem, RT 04 RW 09, Ciracas, Jakarta Timur.

 - Minggu (4/9/2011) sekitar pukul 09:00 WIB : Eti Rosilawati (53) ditemukan tewas di Blok B lantai 4 nomor 12, Rumah Susun Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur. Ibu satu anak tersebut tewas dengan tujuh luka tusuk di bagian leher, dada dan pipi.

- Minggu (04/12/2011) pukul 06:30 WIB : Humala Pardede (59), seorang sopir Koperasi Taksi ditemukan tewas di di gorong-gorong, Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Korban tewas dengan bersimbah darah dan 10 luka tusuk di kepala.

- Minggu (6/5/2012) pukul 03.00 WIB : Umar Sidik (18) tewas dicelurit pria tak dikenal. Jasad Umar ditemukan di depan Pasar Pulogadung, Jakarta Timur dengan kondisi luka bacok di leher. Korban sempat dibawa ke rumah sakit namun tewas akibat kekurangan darah.

- Rabu (27/6/2012), jasad wanita tanpa identitas terbungkus karung ditemukan tukang ojek di pinggir trase kering Banjir Kanal Timur (BKT), 50 meter darai Jalan Raya Pondok Kopi, RT 01 RW 03, Duren Sawit, Jakarta Timur. Dalam kondisi terikat, di tubuh korban ada luka bekas cekikan di leher, luka memar di pinggul dan kaki. Diduga, wanita tersebut dalam kondisi mengandung.

Minim petunjuk

Menanggapi fakta tersebut, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur, Ajun Komisaris Besar Dian Perri mengatakan, pihaknya telah berusaha semaksimal mungkin melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Lima kasus yang disebutkan itu, diakuinya, memiliki kendala masing-masing. Singkat kata, mandeknya proses penyelidikan akibat minim petunjuk.
"Contohnya pembunuhan yang di Duren Sawit (mayat dalam karung), kalau identitas korban diketahui, lebih mudah. Ini karena minim saksi dan identitas," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (29/8/2012) siang.

Meski menemui jalan buntu, Dian mengatakan, pihaknya tetap berkomitmen untuk terus melakukan penyelidikan dengan mencari informasi. Menurut dia, petunjuk saksi mata atau petunjuk lainnya kerap muncul ketika kasus tersebut telah mengendap sekian lama. Dian pun berharap masyarakat juga memiliki peran aktif dalam pengungkapan berbagai kasus tersebut.

Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel kepada Kompas.com mengatakan, minimnya petunjuk saksi tak layak lagi dijadikan alasan polisi sulit menguak tabir kasus pembunuhan itu. Petunjuk saksi dianggap bukti rapuh dan subyektif. Terlebih, masuknya ilmu psikologi forensik modern di Indonesia yang tengah berkembang pesat. "Ya, berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi lah," ujarnya.

Reza mengatakan, faktor lain yang menyebabkan berbagai kasus pembunuhan sadis tak terungkap, karena karakteristik lembaga penegak hukum yang kuno dan tertutup. Polisi kerap menganggap, penyelidikan harus dilakukan sendiri tanpa campur tangan pihak lain, misalnya dengan hadirnya Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia yang telah berkembang pesat.

"Mungkin secara individual sudah ada yang ditangani dokter. Tapi, kerjasama antara institusi, Polri dan Asosiansi Ilmu Forensik Indonesia masih belum terbangun," katanya.

Data kependudukan berantakan

Reza Indragiri Amriel mengatakan, nihilnya rasa aman yang diciptakan aparat kepolisian atas kasus yang tak terungkap itu, bukan kesalahan institusi berseragam cokelat semata. Di sisi lain, polisi hanya menjadi korban otoritas kependudukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang amburadul. Data kependudukan dasar yang dimaksud adalah identitas, sidik jari, golongan darah, sampel DNA, serta latar belakang keluarga.

Proses identifikasi kasus pembunuhan pun demikian, di lapangan, polisi mengambil petunjuk berupa sidik jari (bila tak ditemukan identitas), foto segala sisi, mendokumentasikan luka pada tubuh korban dan sebagainya. Namun, kesulitan yang kemudian melanda aparat adalah, jika profil korban telah dibuat, muncul pertanyaan, siapa pemilik sidik jari itu?

"Itu sebabnya pemerintah menggalakkan e-KTP. Itu kan berkaitan dengan data demografi yang tadi," kata Reza.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar